https://warta.iopri.org/index.php/Warta/issue/feedWARTA Pusat Penelitian Kelapa Sawit2025-04-10T08:29:58+00:00Admin Warta PPKSwarta@iopri.orgOpen Journal Systems<p><strong>WARTA Pusat Penelitian Kelapa Sawit</strong></p> <p>Merupakan media publikasi ilmiah bagi para pakar, peneliti, praktisi, dan seluruh elemen yang terlibat dalam industri kelapa sawit Indonesia. WARTA Pusat Penelitian Kelapa Sawit ini berisi informasi hasil penelitian, kajian, maupun pengalaman di lapangan mengenai industri kelapa sawit. Berbagi informasi untuk pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia akan mempercepat peningkatkan daya saing kelapa sawit Indonesia di dunia Internasional. Saran perbaikan ide-ide pembaruan untuk perbaikan WARTA ini sangat kami harapkan. Partisipasi aktif dari para pakar, peneliti, dan praktisi industri kelapa sawit di Indonesia sangat kami harapkan untuk lebih menghidupkan media publikasi ilmiah ini.</p> <p><strong>Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit Terindeks Pada :</strong></p> <p><a href="https://scholar.google.co.id/citations?user=wSUTmiUAAAAJ&hl=id&authuser=5" target="_blank" rel="noopener"><img src="/public/site/images/admin/01-googlescholar11.png"></a></p>https://warta.iopri.org/index.php/Warta/article/view/149PERKEMBANGAN BIOLOGI MOLEKULER PADA KELAPA SAWIT2025-04-10T08:23:55+00:00Rokhana Faizahrokhanafaizah@gmail.com<p>Biologi molekuler merupakan cabang dari ilmu biologi yang mempelajari tentang dasar molekul pada organisme, termasuk mekanisme dan interaksi molekuler. Biologi molekuler pada pemuliaan tanaman berperan sebagai teknik yang sangat mendukung program pemuliaan kelapa sawit. Dukungan tersebut, salah satunya adalah berupa teknik marka molekuler yang digunakan dalam program pemuliaan, bergantung pada tujuan yang ingin dicapai, antara lain yaitu untuk seleksi tanaman tahan/adaptif pada lingkungan tercekam, seleksi karakter spesifik secara molekuler, identifikasi kekerabatan dan keragaman genetik, dan homozigositas tanaman berdasarkan alel per lokus. Deteksi molekuler tersebut dapat dilakukan berbasis DNA, RNA, dan protein. Manfaat yang diperoleh dari teknik biologi molekuler pada program pemuliaan sangat beragam dan mempercepat proses perakitan bahan tanaman unggul kelapa sawit. Untuk itu, tujuan dari penulisan ini adalah untuk menguraikan perkembangan, macam, dan manfaat teknik biologi molekuler yang mendukung program pemuliaan kelapa sawit.</p>2025-04-08T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 WARTA Pusat Penelitian Kelapa Sawithttps://warta.iopri.org/index.php/Warta/article/view/150UJI JUMLAH PROPAGUL DAN JUMLAH SPORA MIKORIZA ARBUSKULA MENGGUNAKAN METODE MPN (MOST PROBABLE NUMBER) PADA TANAMAN INANG KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) 2025-04-10T08:29:58+00:00Fatimah Nur Istiqomahfatimahnuristiqomah2@gmail.comPraditya Rizqi Novantopradityarizqi33@gmail.com<p>Mikoriza merupakan pupuk hayati yang mampu bersimbiosis dengan akar tanaman. Terdapat dua metode untuk melihat mutu dari produk mikoriza yaitu, uji jumlah spora dan uji jumlah propagul. Uji jumlah spora dilakukan dengan metode tuang saring basah kemudian jumlah sporanya dihitung menggunakan mikroskop. Uji jumlah propagul dihitung menggunakan metode MPN (<em>Most Probable Number</em>) dengan cara mengencerkan inokulum mikoriza dengan media zeolit steril. Pengenceran dilakukan dengan urutan seri mulai dari 10<sup>0</sup>, 10<sup>-1</sup>, 10<sup>-2</sup>, 10<sup>-3</sup>, hingga 10<sup>-4</sup> menggunakan tanaman inang kelapa sawit. Setiap pengenceran dijadikan sebagai perlakuan dan diulang sebanyak 5 kali. Seri pengenceran 10<sup>0</sup> dilakukan dengan cara memasukan 500 g inokulum mikoriza ke dalam polybag. Seri pengenceran 10<sup>-1</sup> dilakukan dengan mengambil inokulum mikoriza 50 g dari 10<sup>0</sup> dan dicampurkan dengan 450 g zeolit steril, dan seterusnya hingga seri pengenceran 10<sup>-4</sup>. Setelah umur 6 bulan akar kelapa sawit dibuat preparat untuk melihat infeksi mikoriza, kemudian dihitung jumlah potensi propagulnya menggunakan tabel dan rumus MPN. Jumlah propagul mikoriza pada tanaman inang kelapa sawit umur 6 bulan adalah 450 cfu/g. Jumlah propagul tersebut telah memenuhi standar Persyaratan Teknis Kepmentan No. 261 tahun 2019 yaitu ≥ 1 x 10<sup>2</sup> cfu/g bobot kering contoh. Rata-rata jumlah spora mikoriza pada seri pengenceran 10<sup>0</sup> adalah 192,8 spora/10 g, kemudian jumlah spora menurun seiring dengan seri pengenceran mikoriza hingga 10<sup>-4</sup>. Metode MPN ini lebih efektif untuk menghitung kerapatan populasi mikoriza karena dapat mengetahui potensi spora, hifa, miselia dalam inokulum mikoriza dan dapat mengetahui infeksi akar mikoriza pada tanaman inang, dibandingkan dengan hanya menghitung jumlah spora mikoriza menggunakan metode tuang saring basah.</p>2025-04-08T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 WARTA Pusat Penelitian Kelapa Sawithttps://warta.iopri.org/index.php/Warta/article/view/129TEKNIK PEMUPUKAN TANAMAN MENGHASILKAN KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN PRINSIP EMPAT TEPAT (4T)2025-04-10T08:23:56+00:00Anggri Sentia Br Barusanggrirg@gmail.comNovella Angelica Hutagalunganggrirg@gmail.comMuhdan Syarovymuhdansyarovy@iopri.co.idWan Riski Fauzimuhdansyarovy@iopri.co.id<p>Pemupukan berperan penting dalam meningkatkan produktivitas kelapa sawit, namun efektivitasnya bergantung pada penerapan prinsip 4T (tepat waktu, tepat jenis, tepat dosis, dan tepat cara). Penelitian ini membahas strategi optimalisasi pemupukan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk serta menjaga keseimbangan hara dalam tanah. Pemupukan dilakukan dengan mempertimbangkan curah hujan optimal (100-250 mm per bulan), jenis pupuk yang sesuai (tunggal atau majemuk), serta dosis berdasarkan analisis tanah dan daun. Aplikasi pupuk dapat dilakukan dengan metode tebar (<em>broadcast</em>) atau benam (<em>pocket</em>), tergantung kondisi lahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pemupukan meliputi ketidakseimbangan hara, kesalahan penempatan pupuk, waktu aplikasi yang tidak tepat, serta gangguan gulma dan hama. Ketidaktepatan dalam aspek-aspek ini dapat menyebabkan kehilangan unsur hara akibat pencucian, penguapan, atau aliran permukaan. Implementasi prinsip 4T diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kelapa sawit secara berkelanjutan dengan mengoptimalkan serapan hara tanaman, meminimalkan kerugian pupuk, serta mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.</p>2025-04-08T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 WARTA Pusat Penelitian Kelapa Sawithttps://warta.iopri.org/index.php/Warta/article/view/181KELAPA SAWIT SEBAGAI TANAMAN AGROFORESTRI 2025-04-10T08:23:56+00:00Astuti Kurnianingsihastutikurnianingsih@fp.unsri.ac.idSudirman Yahyasyahya@gmail.comSudradjat Sudradjatsudradjat@apps.ipb.ac.id<p>Kelapa sawit Indonesia telah berkembang menjadi bagian yang paling penting di dunia. Perkebunan terluas di Indonesia saat ini adalah kelapa sawit yang mencapai 16,83 juta ha, sekitar 6,9 juta ha merupakan perkebunan sawit milik rakyat. Perkebunan kelapa sawit juga memiliki jarak tanam yang lebar yaitu rata–rata 9 m x 9 m, sehingga menyisakan ruang kosong di antara tegakan kelapa sawit. Kondisi tersebut berpotensi dioptimalisasikan dengan menanam tanaman lain termasuk tanaman hutan dan atau ternak di bawah atau antara tegakan kelapa sawit secara bersamaan yang disebut sistem agroforestri. Pemanfaatan lahan perlu dilakukan secara maksimal yang diikuti dengan penerapan teknologi produksi berkelanjutan yang bercirikan penggunaan input yang tepat dan efisien. Teknologi produksi berkelanjutan yang perlu terus dikembangkan adalah secara genetik menggunakan bahan tanaman dari varietas yang beradaptasi dengan cekaman lingkungan dan teknologi budidaya spesifik lokasi. Peraturan Menteri kehutanan tentang perhutanan sosial yaitu kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh kelompok Perhutanan Sosial melalui Persetujuan Pengelolaan Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), kemitraan kehutanan, dan Hutan Adat pada kawasan Hutan Lindung, kawasan Hutan Produksi atau kawasan Hutan Konservasi sesuai dengan fungsinya. Kelapa sawit merupakan tanaman bukan penghasil kayu yang dapat digunakan sebagai salah satu tanaman utama agroforestri dan dapat bertumpangsari dengan tanaman kehutanan, tanaman pangan, tanaman pakan ternak sehingga dapat meningkatkan produksi dan efisiensi penggunaan lahan. Dalam makalah ini disajikan berbagai pola agroforestri menurut penataan ruang dan jenis tanaman. Kesimpulan harus tercantum di dalam abstrak</p>2025-04-08T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 WARTA Pusat Penelitian Kelapa Sawithttps://warta.iopri.org/index.php/Warta/article/view/183OPTIMASI METODE SAMPLING DAN PROFILING TANAMAN YANG TERINFEKSI GANODERMA MENGGUNAKAN FOURIER TRANSFORM INFRA-RED (FT-IR) DAN GAS CHROMATOGRAPHY MASS SPECTROPHOTOMETER (GC-MS)2025-04-10T08:23:56+00:00Irma Kresnawatiirmakresnawati83@gmail.comAgustin Sri Mulyatniwarta@iopri.orgMayumi Puspitasariwarta@iopri.orgGaluh Wening Permatasariwarta@iopri.orgDeden Dewantara Eriswarta@iopri.orgKuwat Triyanawarta@iopri.orgHappy Widiastutiwarta@iopri.org<p>Keberhasilan pengendalian penyakit busuk pangkal batang (BPB) <em>Ganoderma</em> sangat ditentukan oleh keberhasilan deteksi dini infeksi <em>Ganoderma</em> sp. Oleh karena itu, deteksi dini melalui aplikasi biosensor serangan Ganoderma sp. diperlukan, salah satunya dengan electronic nose yang mengenali pola komposisi senyawa volatil yang dihasilkan oleh tanaman sawit. Penelitian ini merupakan penelitian tahun ketiga dengan fokus pada tahap validasi <em>electronic nose</em> tipe <em>eNose-G</em> generasi 3 berupa teknik sampling gas dan pengujian gas volatil menggunakan GC-MS. Hasil optimasi <em>Standard Operational Procedure</em> (SOP) sampling menunjukkan bahwa penyungkupan selama 60 menit, dengan panjang selang dari pohon ke <em>micropump</em> 60 cm dan micropump ke kantong 25 cm, serta teknik sampling botol vakum ke kantong <em>eNose-G</em> merupakan metode yang terbaik. Untuk validasi <em>eNose-G</em>, semua label data yang mengindikasikan tanaman sehat atau kontrol, infeksi dini, infeksi sedang, dan infeksi parah telah diverifikasi menggunakan <em>Fourier Transform Infra-Red</em> (FTIR) dan <em>Gas Chromatography Mass Spectrometer</em> (GC-MS). Identifikasi FT-IR juga menunjukkan adanya ikatan senyawa aromatik masing-masing sampel yang berbeda pada panjang gelombang 1000 cm-1. Hasil GC-MS menunjukkan perbedaan jenis senyawa volatil pada masing-masing tingkat infeksi Ganoderma, namun demikian senyawa volatil yang konsisten teridentifikasi pada infeksi dini di dua kebun dan tidak dijumpai pada sampel tanaman sehat adalah senyawa <em>hydrocarbon trimethylsilyl catechollactate tris(trimethylsilyl) ether.</em></p>2025-04-08T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 WARTA Pusat Penelitian Kelapa Sawithttps://warta.iopri.org/index.php/Warta/article/view/188MINYAK MAKAN MERAH SEBAGAI MEDIA PENGGORENGAN: STUDI SENSORI PADA KENTANG GORENG DAN NUGGET AYAM2025-04-10T08:23:56+00:00Manda Edy Mulyonomandaedymulyono@iopri.orgIlmi Fadhilah Rizkiilmifadhilahrizki@iopri.orgFrisda Rimbun Panjaitanfrisdapanjaitan@iopri.orgBrahmani Dewa Bajrabrahmanidewabajra@iopri.orgMulki Salendra Kusumahmulkikusumah@iopri.orgBagus Giri Yudantobagusgiri@iopri.org<p>Minyak Makan Merah (MMM) merupakan minyak sawit yang melalui proses pemurnian sederhana sehingga mempertahankan kandungan karoten dan vitamin E. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi MMM sebagai media penggorengan dengan menganalisis karakteristik sensori kentang goreng dan nugget ayam yang digoreng menggunakan MMM. Evaluasi sensori dilakukan oleh 34 evaluator yang berusia antara 18 hingga 45 tahun dengan menilai empat atribut sensori, yaitu warna, aroma, rasa, dan tekstur, menggunakan skala hedonik 5 poin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua produk yang digoreng dengan MMM umumnya diterima dengan baik oleh evaluator. Nugget ayam dinilai lebih tinggi pada atribut aroma dan rasa dibandingkan kentang goreng, yang kemungkinan disebabkan oleh perbedaan komposisi bahan dan reaksi Maillard selama penggorengan. Analisis korelasi pada kedua produk menunjukkan bahwa atribut sensori warna, aroma, dan rasa saling berkaitan, dengan korelasi yang lebih kuat pada nugget ayam. Selain itu, penelitian ini juga mengeksplorasi pengaruh faktor demografi, seperti usia dan jenis kelamin, terhadap persepsi sensori, namun tidak ditemukan perbedaan signifikan. Secara keseluruhan, MMM berpotensi menjadi alternatif minyak goreng yang tidak hanya meningkatkan nilai gizi makanan, tetapi juga mempertahankan kualitas sensori yang disukai oleh masyarakat.</p>2025-04-08T00:00:00+00:00Copyright (c) 2025 WARTA Pusat Penelitian Kelapa Sawit